Sinyal Potensi Bahaya Dari Bandung


Kota Bandung, 24 oktober 2016. Hujan turun dalam durasi singkat tapi sangat deras dan tidak merata. Akibatnya, sungai dan saluran air meluap tidak mampu menampung air yang datang tiba-tiba. Jalanan menjadi layaknya sungai dengan arus yang deras.  Satu orang tewas akibat terseret arus banjir, ratusan rumah terendam, beberapa mobil dan motor hanyut, kerugian materi ditaksir lebih dari 16 Miliar. Walikota Bandung, Ridwan Kamil, mengaku kaget dengan banjir yang terjadi dan meminta maaf.
Banjir yang tidak terduga ini seolah menjadi tanda adanya potensi bencana di awal mulainya musim hujan di Indonesia. Musim hujan tahun ini terasa sangat berbeda dibanding tahun tahun sebelumnya, yaitu musim hujan setelah kemarau basah. Masih banyaknya hujan di musim yang seharusnya kemarau, menjadikan awal musim hujan dan akhir kemarau atau biasa disebut pancaroba seolah mengejutkan. Hal ini bisa jadi karena sebelumnya hujan masih sering terjadi dan mungkin tidak memberikan dampak yang siginfikan.
Terkejut atas bencana yang terjadi tiba-tiba merupakan hal yang wajar. Asal tidak lantas menjadikan kita gagap dan tidak tanggap. Bukankah sebenarnya kondisi cuaca ekstrim saat peralihan musim seperti saat ini seperti “agenda tahunan” bagi kita? Cuaca ekstrim yang terjadi pada musim peralihan atau pancaroba hampir selalu kita rasakan saat pergantian musim. Musim pancaroba ini dikenali dengan kondisi cuaca yang cepat berubah dan kadang-kadang ekstrim. Bisa jadi pada pagi dan siang hari cuaca terasa panas dan matahari bersinar sangat terik. Akan tetapi tiba-tiba pada sore hari hujan deras disertai petir dan angin kencang. Pada umumnya, cuaca ekstrim diakibatkan oleh kondisi atmosfer yang sangat labil dengan massa udara yang cukup basah. Atmosfer yang labil mengakibatkan awan yang terbentuk menjadi besar dan menjulang tinggi, yang disebut sebagai awan Cumulonimbus.  Dari awan inilah fenomena cuaca ekstrim biasanya terjadi. Hujan deras meski dalam waktu tidak lama, petir,angin kencang, hujan es dan puting beliung berpeluang terjadi jika terdapat awan jenis ini.
Dari citra satelit Himawari, memang terlihat pertumbuhan awan Cumulonimbus di atas Kota Bandung saat banjir terjadi. Awan Cumulonimbus tersebut terlihat tidak terlalu luas. Sehingga bisa jadi hujan yang ditimbulkan juga tidak merata. Dari citra radarpun juga terlihat bahwa luasan awan tidak terlalu besar dengan durasi yang tidak lama, sekitar satu jam. Akan tetapi meskipun masa hidupnya singkat, curah hujan yang diakibatkan oleh awan ini sangat deras sehingga menimbulkan banjir besar.
Kondisi cuaca seperti ekstrim seperti di Bandung tersebut nampaknya berpeluang terjadi di banyak wilayah Indonesia di waktu – waktu yang akan datang. Bersumber dari buku Prakiraan Musim Hujan 2016/2017 yang diterbitkan BMKG, kondisi lautan dan atmosfer mendukung terjadinya kemarau basah dan berlanjut ke musim hujan. Suhu muka laut di pasifik equator tengah yang mendingin, Indeks Dipole Mode Samudera Hindia yang negatif serta suhu muka laut wilayah Indonesia yang menghangat menjadikan hujan masih sering turun pada saat seharusnya kemarau. Bahkan beberapa daerah sama sekali tidak merasakan kemarau pada tahun ini alias musim hujan sepanjang tahun. Kondisi tersebut juga menjadikan sebagian besar wilayah Indonesia awal musim hujannya mengalami kemajuan dari rata-ratanya. BMKG memprakirakan, dari 342 pembagian wilayah berdasarkan  Zona Musim (ZOM) di Indonesia, 231 ZOM (67.5%) lebih maju awal musim hujannya. Sedangkan 66 ZOM (19.3%) diprakirakan sama terhadap rata-ratanya dan sebagian kecil yang mundur terhadap rata-ratanya sebanyak 33 ZOM (9.6%). Jika ditinjau dari sifat hujannya, selama musim hujan 2016/ 2017 di sebagian besar daerah yaitu 174 ZOM (50.88%) diprakirakan akan bersifat normal. Sedangkan 164 ZOM (47.95%) diprakirakan di atas normal dan hujan di bawah normal diprakirakan hanya terjadi pada 4 ZOM (1.17%). Zona Musim (ZOM) sendiri adalah daerah yang pola hujan rata-ratanya memiliki perbedaan yang jelas antara periode musim kemarau dan musim hujan . Sedangkan daerah-daerah yang pola hujan rata-ratanya tidak memiliki perbedaan yang jelas antara periode musim kemarau dan musim hujan disebut non-ZOM. Luas suatu wilayah ZOM tidak selalu sama dengan luas suatu wilayah administrasi pemerintahan. Dengan demikian, suatu wilayah ZOM bisa terdiri dari beberapa kabupaten atau kota, dan sebaliknya suatu wilayah kabupaten atau kota bisa terdiri atas beberapa ZOM. Awal musim hujan atau kemarau dan  sifat hujan dari masing – masing ZOM bisa berbeda-beda.
Banyaknya wilayah yang maju awal musim hujannya dan juga banyaknya wilayah yang  sifat hujannya diprakirakan di atas normal, seharusnya menjadikan stamina kewaspadaan kita juga harus selalu terjaga. Apalagi, berdasarkan penelitian yang dilakukan Supari,dkk ditemukan kecenderungan kenaikan  frekuensi maupun intensitas curah hujan ekstrem di seluruh wilayah Indonesia pada bulan Desember, Januari dan Februari.( Kompas, 21 oktober 2016). Kecenderungan ini berarti  potensi bencana yang ada saat musim hujan juga cenderung naik. Kondisi ini menjadi lebih parah dengan bertambahnya aktivitas penduduk yang berakibat semakin bertambahnya kerugian yang ditimbulkan oleh bencana. Sebagai contoh, bencana kebakaran hutan dan lahan tahun 2015/2016 menimbulkan kerugian finansial jauh lebih besar dari kebakaran hutan dan lahan tahun 1997/1998 padahal lahan yang terbakar pada tahu 2015/2016 jauh lebih sedikit. Menurut BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), hutan dan lahan yang terbakar pada tahun 2015 diperkirakan mencapai 2,6 juta hektar sedangkan pada tahun 1997 mencapai 9 juta hektar. Sedangkan kerugian finansial akibat kebakaran hutan dan lahan tahun 2015/2016 mencapai Rp 221 triliun sedangkan pada tahun 1997/1998 mencapai Rp 60 triliun. Dampak yang lebih parah ini disinyalir karena bertambahnya penduduk.
Dengan semua data dan fakta yang ada, keputusan ada di tangan kita. Apakah kita akan siap siaga dan tanggap terhadap bencana ataukah gagap dan kaget dengan bencana. Tanpa kesiapsiagaan menghadapi bencana, nampaknya kekagetan kita akan semakin bertambah di masa-masa yang akan datang.
dimuat di harian Kompas, 28 Oktober 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memutus Tradisi Di Awal Musim

Cuaca Ekstrem Yang Terabaikan