Memutus Tradisi Di Awal Musim

Republika, 20 Oktober 2022

Seolah mengulang tradisi, awal musim hujan kali ini menyebabkan banyak peristiwa kebencanaan di berbagai daerah. Banjir, tanah longsor, banjir bandang, puting beliung dan peristiwa kebencanaan lainnya terjadi susul menyusul. Mulai banjir Aceh Utara yang merendam belasan kecamatan hingga banjir di Jembrana yang memutuskan jalur utama Denpasar – Gilimanuk. Korban materi hingga korban jiwa juga tak terhindarkan akibat bencana di awal musim hujan tersebut.

Tidak seperti musim hujan pada tahun – tahun sebelumnya, musim hujan beberapa tahun belakangan ini agak berbeda. Saat musim yang seharusnya kemarau, hujan masih sering turun. Akibat yang dirasakan di banyak tempat adalah samarnya perbedaan antara musim kemarau dan musim hujan. Bahkan, beberapa daerah tertentu tidak mengalami musim kemarau sama sekali. Artinya, daerah tersebut mengalami musim hujan hampir sepanjang tahun.

Kondisi perbedaan musim yang kurang begitu jelas tersebut tak lepas dari faktor masih aktifnya La Nina.  Sebuah fenomena menurunnya suhu permukaan laut di sepanjang timur dan tengah Samudera Pasifik equator yang mulai terjadi di sekitar pertengahan 2020 dan diperkirakan masih akan terjadi hingga akhir tahun ini bahkan bisa berlanjut hingga awal tahun 2023.

Berdasarkan prakiraan BMKG, sebagian besar wilayah Indonesia (30.6 persen) akan  mengalami awal  musim  hujan di tahun 2022/2023 yang maju terhadap normalnya. Artinya, banyak daerah yang mengalami musim hujan lebih cepat dari biasanya. Bulan September hingga November 2022 merupakan awal musim hujan pada sebagian besar wilayah Indonesia.

Majunya awal musim hujan pada sebagian besar wilayah Indonesia juga masih diakibatkan oleh faktor La Nina. Kondisi La Nina yang terjadi dalam tiga tahun berturut-turut seperti saat ini terbilang jarang terjadi. Badan Meteorologi Dunia (WMO) menyebut fenomena ini sebagai La Nina  "Triple Dip" pertama di abad ini. Kondisi ini juga pernah terjadi pada tahun 1973 -1975 dan tahun 1998-2001.

Kondisi ini diperkuat dengan fenomena Dipole Mode Index (DMI) yang bernilai negatif. DMI adalah indeks yang menunjukkan perbedaan anomali suhu permukaan laut antara Samudera Hindia tropis bagian barat dengan Samudera Hindia tropis bagian timur. Fenomena ini mirip dengan El Nino dan La Nina. Jika El Nino dan La Nina terjadi di daerah perairan Pasifik equator, Dipole Mode terjadi di wilayah perairan Samudera Hindia. Saat tulisan ini dibuat DMI menunjukkan nilai -0.87. Pada kondisi fase DMI negatif seperti ini, suhu permukaan laut di Samudera Hindia tropis bagian timur lebih tinggi dari normalnya. Dampaknya berupa semakin aktifnya pertumbuhan awan-awan hujan di sebelah barat wilayah Indonesia dan sekitarnya.

Untuk prakiraan puncak musim hujan diperkirakan paling banyak akan terjadi pada bulan November 2022 di sekitar 28 persen wilayah Indonesia. Sedangkan bulan Desember 2022 diperkirakan akan terjadi puncak musim hujan pada sekitar 14 persen wilayah Indonesia. Bulan Januari dan Februari 2023 diperkirakan merupakan puncak musim hujan pada 14 dan 15 persen wilayah Indoinesia.

Meskipun demikian, puncak musim bukanlah satu – satunya penyebab terjadinya peristiwa kebencanaan.  Pada saat pergantian musim atau di awal musim yang kita kenal sebagai musim pancaroba, potensi kebencanaan akibat cuaca ekstrem juga patut kita waspadai. Hal ini karena pada saat pergantian musim peristiwa cuaca ekstrem yang sporadis cenderung lebih sering terjadi.

Kondisi  cuaca ekstrim yang terjadi pada musim pancaroba pada umumnya diakibatkan oleh kondisi atmosfer yang labil dengan massa udara yang cukup basah. Atmosfer yang labil mengakibatkan awan yang terbentuk menjadi besar dan menjulang tinggi, yang disebut sebagai awan Cumulonimbus (awan Cb). Dari awan inilah fenomena cuaca ekstrim biasanya terjadi. Hujan deras meskipun dalam waktu tidak lama, petir, hujan es, angin kencang bahkan hingga puting beliung berpeluang terjadi jika terdapat awan jenis ini.

Dari data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada tahun 2021 terlihat kenaikan kejadian bencana pada saat mulai musim hujan. Pada bulan September 2021 kejadian bencana tercatat 157 kali dengan korban jiwa sebanyak 16 orang. Pada bulan Oktober 2021 kejadian bencana meningkat dan tercatat sebanyak 228 kali dengan korban jiwa sebanyak 26 orang. Peningkatan kembali terjadi pada November 2021 dengan jumlah kejadian sebanyak 424 kali dengan korban jiwa sebanyak 35 orang.

Berulangnya peristiwa kebencanaan saat awal musim hujan yang seolah menjadi tradisi ini seharusnya menjadikan kita sadar. Saatnya kita mengakhiri “tradisi” ini. Prediksi akan adanya pergeseran awal musim sudah disebarluaskan oleh institusi yang berwenang. Seharusnya prediksi ini bisa menjadi acuan untuk melakukan langkah – langkah antisipasi.

Jika awal musim hujan di sebagian besar wilayah diperkirakan lebih maju dari normalnya, maka seharusnya langkah antispasi yang diperlukan juga dilakukan lebih dini. Berbagai kegiatan penanggulangan bencana seharusnya sudah dilakukan lebih awal. Jika kegiatan antisipasi bencana baru dilakukan setelah terjadi bencana, maka jangan heran jika kaget dan terkejut juga menjadi “tradisi” tahunan kita.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cuaca Ekstrem Yang Terabaikan