Cuaca Ekstrem Yang Terabaikan
Republika, 04 Maret 2022
Berita kebencanaan akibat cuaca ekstrem akhir-akhir
ini nampaknya tertutupi oleh beberapa berita lain yang lebih menarik perhatian.
Padahal, beberapa kejadian cuaca ekstrem mengakibatkan peristiwa kebencanaan dengan
kerugian baik korban jiwa maupun materi yang tidak sedikit.
Salah satu yang bisa jadi terabaikan adalah informasi
peringatan dini oleh BMKG dengan munculnya dua bibit siklon di sekitar wilayah
Indonesia yang dapat memicu beberapa peristiwa kebencanaan akibat cuaca
ekstrem. Dua bibit siklon tersebut adalah sistem 99S yang berada sekitar Laut Timor
sebelah utara Australia dan sistem 90S yang berada di Samudra Hindia barat daya
Sumatra. Dua bibit siklon tropis ini akhirnya menjadi Siklon Tropis Anika dan
Sikon Tropis Vernon
Peringatan dini yang dikeluarkan oleh BMKG akhirnya terbukti
dengan banyaknya kejadian kebencanaan yang terjadi mulai dari wilayah barat
hingga timur Indonesia. Beberapa diantaranya adalah banjir di Medan, banjir dan
longsor di Serang, banjir di Sikka dan banyak peristiwa kebencanaan lain di Indonesia
yang diakibatkan cuaca ekstrem. Bahkan untuk banjir yang terjadi di Serang (01/03/2022)
konon merupakan banjir terbesar dalam jangka waktu lebih dari 50 tahun terakhir.
Akibatnya, di Kota Serang terdapat lima korban jiwa meninggal, ribuan warga
mengungsi serta sekitar 1500 rumah tergenang.
Berkaca dari banjir Serang, umumnya tidak hanya satu
faktor yang menyebabkan banjir. Fakta bahwa curah hujan yang sangat tinggi
memang benar terjadi. Stasiun Meteorologi Serang mencatat curah hujan sebesar
180 mm selama 24 jam. Curah hujan sebesar ini merupakan curah hujan harian
tertinggi sejak Stasiun Meteorologi ini berdiri. Akan tetapi, faktor lain
berupa sedimentasi dan penyempitan Sungai Cibanten ditengarai memperparah
banjir yang terjadi.
Banjir besar yang mengejutkan dan terjadi seolah
tiba-tiba ini menunjukkan masih kurangnya perhatian kita pada peringatan dini
cuaca ekstrem yang dikeluarkan BMKG. Kondisi ini salah satunya bisa jadi akibat
berkurangnya hujan saat puncak musim hujan yang diperkirakan pada Januari - Februari
2022. Kita memang patut bersyukur peristiwa kebencanaan akibat cuaca ekstrem terjadi
lebih sedikit dari perkiraan pada bulan Januari-Februari yang lalu. Salah satu
faktornya adalah terjadinya Monsoon Break saat terjadi sirkulasi
tertutup Borneo Vortex
pada Januari lalu. Borneo
Vortex adalah sirkulasi tertutup/siklonik berlawanan arah jarum jam yang
muncul tetap di sekitar Kalimantan pada musim dingin asia. Sirkulasi inilah
yang kemudian menghalangi massa udara dari Asia masuk ke sebagian wilayah Indonesia.
Akibatnya, musim hujan seolah “terjeda” beberapa waktu.
Meskipun bulan Januari dan Februari yang diperkirakan
merupakan puncak musim hujan sudah terlewati, namun kewaspadaan terhadap kejadian
cuaca ekstrem tetap harus terjaga. Perumbuhan siklon tropis di sebelah selatan
wilayah Indonesia masih berpeluang terjadi. Seperti saat tulisan ini dibuat,
terdapat bibit siklon 95S di sekitar Samudera Hindia selatan Jawa. Dengan
adanya bibit siklon ini, BMKG memberikan peringatan dini cuaca ekstrem untuk
wilayah Banten dan Jawa Tengah berupa peluang terjadinya hujan dengan
intensitas sedang hingga lebat.
Berkaca pada tahun 2021, data Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan 5.402 kejadian bencana yang terjadi
di Indonesia lebih dari 99 persennya merupakan bencana akibat faktor hidrometeorologi.
Banjir menempati urutan pertama dengan jumlah kejadian sebanyak 1.794 kejadian,
disusul dengan tanah longsor, cuaca ekstrem, kebakaran hutan dan lahan (karhutla),
gelombang pasang dan abrasi dan juga kekeringan.
Jika dibandingkan dengan data kebencanaan di seluruh dunia,
berdasarkan laporan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), kondisi Indonesia terlihat
sangat berbeda. Jika faktor hidrometeorologi di Indonesia menyumbang sekitar 98
persen dari keseluruhan bencana (di tahun 2021 bahkan lebih dari 99 persen), akumulasi
data di seluruh dunia menunjukkan faktor hidrometeorologi hanya di kisaran 50
persen sebagai penyebab bencana. Kondisi inilah yang menjadikan alasan mengapa
kita di Indonesia harus lebih memperhatikan kebencanaan akibat faktor
hidrometeorologi tersebut dibandingkan wilayah lain di dunia.
Ditambah lagi dengan kondisi lingkungan dan daya
dukung alam yang tentunya sudah berubah. Sebagai contoh perubahan kawasan perdesaan
menjadi kawasan perkotaan. Dalam kurun waktu sepuluh tahun (2010-2020),
berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 120 tahun 2020, terjadi
perubahan besar pada klasifikasi desa yang berubah menjadi perkotaan di
Indonesia. Pada tahun 2010 jumlah desa yang masuk dalam klasifikasi perkotaan
di Indonesia berjumlah 15.786 dan pada tahun 2020 meningkat hampir dua kali
lipatnya menjadi 29.640. Kondisi perubahan kawasan menjadi
perkotaan ini tak hanya berpeluang menambah kerentanan akibat bencana karena bertambahnya
jumlah penduduk di suatu wilayah. Banyak penelitian
menunjukkan bahwa perubahan ini juga berpotensi menambah frekuensi kejadian
cuaca ekstrem.
Dengan berbagai fakta di atas, sudah saatnya kita
meningkatkan perhatian dan kewaspadaan terhadap peristiwa bencana akibat faktor
hidrometeorologi seperti cuaca ekstrem. Kerugian baik berupa materi maupun
korban jiwa akan semakin besar dengan kurangnya perhatian dan sikap abai kita
dengan faktor terbesar penyebab kejadian bencana di Indonesia tersebut. Ini
tugas bersama dan harus kita mulai dari diri kita sendiri.

Komentar
Posting Komentar