Kita Memang Pelupa
Entah apa yang difikirkan oleh sebagian penduduk negeri ini. Ingatan
tentang peristiwa kebakaran hutan dan lahan (karhutla) besar tahun lalu yang
terjadi di Sumatera hingga Papua seolah tak tersisa di kepala mereka. Korban
yang jatuh sebanyak 24 orang meninggal dunia, lebih dari 600 ribu jiwa
terjangkit Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA), 60 juta jiwa terpapar asap
dan sebanyak 2,61 juta hektare hutan dan lahan terbakar, seolah lenyap dari
ingatan. Kerugian materiil sebesar 221 Triliun, sebagaimana dihitung Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), seakan hanya angka di atas kertas.
Kejadian kebakaran hutan tahun ini menjadi saksi betapa pendeknya memori
sebagian anak bangsa akan tragisnya dampak bencana. Meski mengalami penurunan
dibandingkan tahun lalu, akan tetapi masih terjadinya peristiwa kebakaran hutan
dan lahan saat curah hujan yang tinggi tentu merupakan sebuah ironi. Dampaknya
juga telah dirasakan oleh penduduk di sekitar terjadinya karhutla hingga negara
tetangga. Beberapa kali kabut asap, meskipun masih tipis, menyelimuti kota-kota
di Sumatera dan Kalimantan.
Sebagai contoh, status udara kota Pontianak sempat berada pada
kondisi tidak sehat akibat kabut asap pada Agustus dan September lalu. Data
dari Stasiun Klimatologi Siantan menunjukkan konsentrasi pm10 pada bulan Agustus
2016 pernah mencapai 333.71 µg/m3 yang terjadi pada tanggal 24
Agustus 2016. Padahal berdasarkan analisis tingkat kekeringan dan kebasahan
dengan menggunakan indeks SPI, seperti dikutip dari Buletin Iklim Kalimantan
Barat, untuk akumulasi curah hujan tiga bulanan Juni s/d Agustus 2016 di
wilayah Kalimantan Barat pada umumnya Normal - Agak Basah meskipun terdapat
satu daerah dengan kondisi kering. Bahkan banyak daerah di Kalbar kondisinya
masuk dalam kategori basah - sangat basah.
Negara tetangga juga tak ketinggalan merasakan dampak kabut asap
akibat karhutla. Dari pantauan satelit Himawari terpantau sebaran kabut asap
akibat kebakaran hutan dan lahan di Sumatera sempat bergerak ke Singapura pada
26 Agustus lalu. Singapura sampai merasa perlu untuk membuat UU guna menjerat
pelaku karhutla yaitu perusahaan-perusahaan di Indonesia yang
ditengarai telah melakukan pembakaran hutan yang merugikan negara mereka.
Yang memprihatinkan, perlawanan dari para pembakar hutan terlihat
secara terang-terangan. Tujuh polisi hutan dan penyidik Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan sempat disandera selama 12 jam oleh sekelompok orang saat
menyegel lahan yang terbakar di Rokan Hulu, Riau pada 2 September 2016. Meskipun
akhirnya dilepaskan, akan tetapi berbagai bukti foto dan video dihapus oleh
penyandera. Selain itu plang yang dipasang di lokasi kebakaran hutan dan lahan
juga dicopot.
Peristiwa kebakaran hutan dan lahan yang masih terjadi di tengah
kemarau basah ini tentu menmbulkan keprihatinan mendalam. Tahun lalu,
kekeringan parah yang diakibatkan El Nino dituding sebagai biang kerok. El-Nino
tahun 2015 memang bisa dikatakan lebih parah dibandingkan kejadian sebelum-sebelumnya
Suhu muka laut di wilayah Samudera Pasifik equator bagian tengah dan timur
menghangat. Suhu muka laut Samudera Pasifik equator bagian tengah (NINO34)
mengalami peningkatan suhu hingga mencapai nilai +2.48 0C dari
rata-ratanya. Padahal jika penyimpangan suhu muka laut di pasifik equator
tengah tersebut mencapai +1.5 saja sudah dikatakan sebagai El Nino kuat. Kondisi
ini didukung pula oleh indeks osilasi selatan yang menunjukkan nilai hingga
-20.2. Indeks ini dihitung berdasarkan
perbedaan tekanan antara tahiti dan darwin. Nilai negatif ( - ) mengindikasikan
aliran massa udara dari Indonesia keluar dan bergerak ke arah timur. Sedangkan
nilai positif (+) mengindikasikan kondisi sebaliknya. Semakin negatif nilainya
berarti pergerakan massa udara dari wilayah Indonesia semakin banyak keluar ke
arah Samudera Pasifik. Hal ini menjadikan pasokan uap air di wilayah indonesia
yang normalnya didukung dari wilayah Samudera Pasifik menjadi berkurang.
Sedangkan saat ini, kondisi tanah air berbeda jauh. Suhu muka laut
di wilayah Samudera Pasifik equator bagian tengah dan timur terpantau lebih
rendah dari rata-ratanya. Indekx NINO34 pada saat tulisan ini dibuat terpantau
sebesar -0.62. Hal ini mengindikasikan terjadinya fenomena kebalikan dari El
Nino yaitu La Niña meskipun masih dalam kategori lemah. Selain itu, faktor
masih hangatnya suhu muka laut di wilayah Indonesia merupakan salah satu faktor
yang dominan. Suhu muka laut di wilayah indonesia terpantau lebih hangat
sekitar 0.5-3.0 oC dari rata-ratanya. Kenaikan suhu sebesar ini
menjadikan peluang pembentukan awan semakin tinggi. Apalagi ditambah dengan indikasi adanya penambahan massa udara
dari Samudera Hindia yang masuk ke wilayah Indonesia. Akibatnya, Indonesia
mengalami sebuah fenomena yang dikenal sebahgai kemarau basah. Kemarau basah
adalah istilah yang digunakan untuk mendefinisikan fenomena masih tingginya curah
hujan pada saat seharusnya musim kemarau.
Banyaknya hujan di musim kemarau yang diistilahkan kemarau basah
ini tak ayal menjadikan berbagai kebencanaan di Indonesia berupa banjir dan
tanah longsor. Tak terkecuali terjadi di pulau Sumatera dan Kalimantan dimana
terjadi kebakaran hutan dan lahan. Tentu saja ini merupakan sebuah ironi. Saat
air sedemikian berlimpah pun kebarakan hutan masih menjadi momok yang
menakutkan.
Karenanya,
sungguh aneh bangsa ini. Kebakaran hutan seolah tak pernah menjadi pelajaran
besar. Entah berapa juta hektar lagi hutan yang harus dikorbankan demi
keserakahan kita. Entah berapa nyawa lagi yang harus dikorbankan demi ambisi
kita. Dan entah berapa juta paru-paru lagi yang akan diasapi keangkuhan kita. Entah
dimuat di harian Kabar Banten, 15 Okt 2016
Komentar
Posting Komentar