Kemarau Basah Dan Demam Berdarah

Meskipun seharusnya saat ini sebagian wilayah Indonesia memasuki musim kemarau, akan tetapi terjadi kondisi yang tidak lazim yaitu berupa peningkatan curah hujan di berbagai daerah. Dampaknya negatifnya sudah dirasakan oleh masyarakat. Berbagai peristiwa kebencanaan seperti banjir dan tanah longsor terjadi di banyak tempat. Selain menimbulkan kerusakan pada harta dan benda, bencana tersebut juga mengakibatkan jatuhnya korban jiwa
Selain mengakibatkan bencana banjir dan tanah longsor, peningkatan curah hujan ini juga berpotensi menimbulkan salah satu penyakit khas wilayah tropis yaitu Demam Berdarah Dengue (DBD). Penyakit yang disebarkan oleh nyamuk Aedes Aegypti dan sampai sekarang belum ditemukan obatnya ini memang termasuk penyakit yang berbahaya di Indoneisa. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) , sebagaimana yang dikutip dari Buletin Jendela Epidemologi Kementrian Kesehatan tahun 2010, terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009 Indonesia mendapatkan predikat  negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)  juga masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya semakin bertambah seiring dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk.
Nyamuk Aedes Aegypti yang merupakan vektor penyakit DBD optimal tumbuh dan berkembang di lingkungan dengan suhu hangat. Dikutip dari tulisan Ririh Yudhastuti  dan Anny Vidiyani pada Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.1, No.2, Januari 2005, Iskandar, et al.,(1985) menyatakan bahwa pada umumnya nyamuk akan meletakkan telurnya pada  temperatur sekitar 20 – 300 C. Toleransi  terhadap suhu tergantung  pada  spesies  nyamuk.  Masih dalam artikel yang sama, menurut  WHO  (1972)  dalam Mardihusodo  (1988) menyatakan bahwa telur  nyamuk  tampak  telah  mengalami embriosasi lengkap dalam waktu 72 jam dalam temperatur udara 25 - 300 C. Menurut Yotopranoto, et  al.  (1998)  dijelaskan  bahwa  rata-rata suhu  optimum  untuk  pertumbuhan  nyamuk  adalah  25 –  270 C  dan pertumbuhan nyamuk akan berhenti sama sekali bila suhu kurang dari 100 C atau lebih dari 400 C.
Kondisi cuaca pada saat ini mendukung pertumbuhan nyamuk khususnya nyamuk Aedes Aegypti. Menurut Achmad Sasmito, dkk dalam tulisan Effect Of The Variability And Climate Change To Detect Case Of Dengue Fever In Indonesia, Jurnal Meteorologi Dan Geofisika Vol. 11 No. 2 – November 2010 , menyebutkan bahwa terdapat peningkatan yang cepat dalam pertumbuhan populasi nyamuk saat terjadi kemarau basah. Pertumbuhan populasi nyamuk yang cepat ini bisa jadi karena curah hujan yang tinggi mengakibatkan banyaknya genangan air sehingga memudahkan nyamuk untuk berkembang biak. Selain itu, suhu udara yang hangat saat kemarau basah mungkin lebih mempermudah proses pertumbuhan larva menjadi nyamuk.
Kondisi kemarau basah dengan suhu yang hangat saat ini juga sedang terjadi di wilayah Banten. Sebagai contoh, hari hujan di Stasiun Meteorologi Klas I Serang selama September 2016 tercatat sebanyak 25 hari merupakan hari hujan. Suhu udara maksimum di selama September 2016 tercatat antara 32-34 oC. Sedangkan suhu minimum tercatat antara 22-25 oC. Kelembaban udara berkisar antara 56 – 98 %. Tidak ada laporan kondisi ekstrim suhu dan kelembaban selama September 2016. Rentang suhu yang tidak terlalu tinggi antara maximum dan minimum ini mengindikasikan udara cenderung hangat. Begitupun dengan kelembaban yang sedang dan tidak terlampau tinggi ataupun rendah. Hari hujan yang banyak ditambah tidak adanya kondisi ekstrim suhu dan kelembaban inilah yang berpotensi menjadi kondisi ideal bagi berkembangnya nyamuk Aedes Aegypti.
Banyaknya hari hujan disertai dengan masih tingginya curah hujan saat ini dipengaruhi oleh faktor masih hangatnya suhu muka laut di wilayah Indonesia. Suhu muka laut di wilayah indonesia terpantau lebih hangat sekitar +0.5 - 3.0 oC dari rata-ratanya. Kenaikan suhu sebesar ini menjadikan peluang pembentukan awan semakin tinggi. Selain itu, terdapat indikasi adanya penambahan massa udara dari Samudera Hindia yang masuk ke wilayah Indonesia. Hal ini terlihat dari indeks Indian Ocean Dipole atau lebih dikenal dengan Dipole Mode Index (DMI) yang negatif. Dipole Mode Index (DMI) negatif mengidikasikan pergerakan massa udara yang basah dari Samudera Hindia ke arah wilayah Indonesia terutama bagian barat. Sedangkan indeks positif mengindikasikan kondisi sebaliknya. Saat tulisan ini dibuat, Dipole Mode Index terakhir tercatat sebesar -0.7. Indeks ini lebih rendah dari batas bawah dipole mode index yaitu sebesar -0.4. selain itu, kondisi kemarau basah disebut-sebut juga merupakan efek dari adanya fenomena anomali negatif suhu muka laut Pasifik tropis tengah dan timur atau yang disebut sebagai fenomena La Niña. Dampak dari La Niña bagi Indonesia yaitu semakin banyaknya suplai uap air dari Samudera Pasifik ke wilayah Indonesia yang berdampak pada peningkatan peluang pembentukan awan. Indeks La Niña saat ini menunjukkan nilai -0.43. Meskipun indeks ini masih dalam rentang 0.8 dari -0.8, akan tetapi indeks tersebut masuk dalam kategori La Niña lemah.
Diperkirakan, Dipole Mode Index diperkirakan baru menuju normal pada sekitar bulan November atau Desember 2016. Sedangkan untuk La Niña, meski banyak lembaga dunia memperkirakan La Niña akan tetap dalam kategori lemah pada bulan-bulan mendatang, akan tetapi ada juga lembaga dunia lainnya yang memperkirakan La Niña akan menguat. Kondisi cuaca akan semakin ideal bagi pertumbuhan nyamuk jika kemudian curah hujan menjadi “hilang” selama beberapa waktu. Berdasarkan pengalaman pada bulan maret lalu, musim hujan yang “terjeda” mengakibatkan lonjakan jumlah penderita DBD. Hingga akhirnya pemerintah menetapkan 11 provinsi mengalami Kejadian Luar Biasa (KLB)  Demam Berdarah Dengue.
Dengan kondisi seperti ini, semua fihak harus segera mengambil langkah-langkah untuk mengantisipasi. Meskipun beberapa riset menemukan adanya hubungan erat antara faktor lingkungan khususnya cuaca dengan perkembangan kasus DBD, akan tetapi studi lainnya  menunjukkan bahwa DBD bisa jadi tidak berkorelasi faktor tersebut. Hal tersebut mungkin berkaitan erat dengan perbedaan perilaku masyarakat. Perilaku hidup bersih yang sudah menjadi budaya mungkin saja menjadikan faktor terhambatnya siklus hidup nyamuk. Sedangkan perilaku hidup yang tidak sehat malah menjadikan nyamuk betah bersarang dan berkembang biak. 

dimuat di harian Satelitnews, 7 Okt 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memutus Tradisi Di Awal Musim

Cuaca Ekstrem Yang Terabaikan