Memperpanjang Nafas Kesiagaan Kita
Peristiwa kebencanaan seolah tak jenuh menyambangi negeri ini.
Setelah kemarau tahun lalu mengalami kekeringan, giliran banjir dan tanah
longsor menyusul pada saat musim hujan. Bahkan ketika waktunya sudah masuk
musim kemarau seperti saat inipun, ternyata peristiwa kebencanaan khas musim
hujan, yaitu banjir dan tanah longsor, tidak serta merta lenyap. Pada tahun
2016 ini, banjir dan tanah longsor terjadi mulai dari Pulau Sumatera hingga Papua.
Peristiwa banjir dan longsor yang
menimbulkan banyak korban jiwa baru-baru ini yaitu banjir dan longsor di Kabupaten
Garut dan Sumedang. Tak berhenti di daerah saja, wilayah ibu kota DKI Jakarta
juga tak luput dari musibah akibat curah hujan yang tinggi. Selain menimbulkan
banjir di berbagai tempat di ibu kota, hujan deras disertai angin kencang
mengakibatkan robohnya pembatas jembatan penyeberangan orang di pasar minggu
hingga menimbulkan korban jiwa pada sabtu (24/9/2016). Untuk wilayah Banten, seolah
tak cukup dengan banjir bandang dan tanah longsor pada bulan juli lalu, kejadian
bencana alam seperti angin puting beliung dan banjir, ternyata dilaporkan masih
terjadi di beberapa wilayah di Banten. Yang terbaru yaitu kejadian banjir di
Kota Tangerang yang melanda kawasan Perum Ciledug Indah, Jalan Ciledug Raya,
Puri Kartika Baru, Puri Beta dan Jalan Joglo Raya pada minggu (25/09/2016).
Genangan air diperkirakan mmencapai kisaran 30 hingga 120 cm. Sebelumnya, banjir setinggi hingga 1 meter juga merendam ratusan
rumah di dua kampung, yakni Kampung Cigalempong dan Kampung Nameng,
Rangkasbitung, Lebak, Banten pada Senin (12/9/2016). Banjir terjadi akibat
hujan deras yang turun sejak minggu (11/9/2016) sore hingga senin (12/9/2016)
pagi dini hari.Sebagian warga mengungsi ke tempat yang tidak terkena banjir dan
mengevakuasi barang berharga milik mereka. Meski tidak menimbulkan korban jiwa,
namun itu sangat mengganggu aktivitas warga karena terjadi saat hari raya Idul
Adha.
Mendiami wilayah benua maritim bernama Indonesia, mengharuskan kita
senantiasa waspada dengan berbagai potensi bencana yang ada. Berdasarkan
catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), faktor hidrometeorologis
seperti tingginya curah hujan merupakan penyebab terbesar terjadinya bencana
alam di Indonesia. Sekitar 95 persen penyebab
bencana di Indonesia adalah karena faktor tersebut.
Secara geografis Indonesia terletak
di wilayah tropis di antara dua Samudera yaitu Pasifik dan Hindia serta dua
benua yaitu Benua Asia dan Auistralia. Berbentuk kepulauan, negara ini juga
dikenal dengan sebutan maritim continent atau benua maritim. Kondisi ini sangat
berpengaruh pada variabilitas iklim di seluruh wilayah Indonesia. Kondisi Indonesia
yang berupa negara kepulauan dengan iklim tropisnya memberikan peluang curah
hujan yang tinggi. Ditunjang dengan kondisi geografis yang beragam, kondisi
iklim di berbagai wilayah indonesia juga bervariasi. Karenanya potensi kebencanaan
juga tinggi dan bervariasi. Saat masuk musim penghujan berbagai bencana seperti
banjir dan tanah longsor kerap terjadi. Hal ini akan semakin meningkat jika
dibarengai oleh adanya La Niña, indeks Dipole Mode negatif ataupun faktor
lainnya. Saat musim kemarau, kekeringan
dan juga kebakaran hutan menjadi berita sehari-hari. Kekeringan akan semakin
parah jika berbarengan dengan adanya anomaly positif dari wilayah Samudera Pasifik
tropis bagian tengah dan timur atau yang kita kenal dengan sebutan El Nino.
Saat ini, sebagian wilayah indonesia mengalami sebuah fenomena yang
dikenal sebahgai kemarau basah. Kemarau basah adalah istilah yang digunakan
untuk mendefinisikan fenomena masih tingginya curah hujan pada saat seharusnya
musim kemarau. Penyebabnya bisa beragam. Untuk saat ini, faktor masih hangatnya
suhu muka laut di wilayah Indonesia merupakan salah satu faktor yang dominan.
Suhu muka laut di wilayah indonesia terpantau lebih hangat sekitar 0.5-3.5 oC
dari rata-ratanya. Kenaikan suhu sebesar ini menjadikan peluang pembentukan
awan semakin tinggi. Selain itu, terdapat indikasi adanya penambahan massa
udara dari Samudera Hindia yang masuk ke wilayah Indonesia. Hal ini terlihat
dari indeks Indian Ocean Dipole atau lebih dikenal dengan Dipole Mode Index
(DMI) yang negatif. Dipole Mode Index (DMI) negatif mengidikasikan pergerakan
massa udara yang basah dari Samudera Hindia ke arah wilayah Indonesia terutama
bagian barat. Sedangkan indeks positif mengindikasikan kondisi sebaliknya. Saat
tulisan ini dibuat, Dipole Mode Index terakhir tercatat sebesar -0.9. Indeks
ini lebih rendah dari batas bawah dipole mode index yaitu sebesar -0.4. selain
itu, kondisi kemarau basah disebut-sebut juga merupakan efek dari adanya
fenomena anomali negatif suhu muka laut Pasifik tropis tengah dan timur atau
yang disebut sebagai fenomena La Niña. Dampak dari La Niña bagi Indonesia yaitu
semakin banyaknya suplai uap air dari Samudera Pasifik ke wilayah Indonesia
yang berdampak pada peningkatan peluang pembentukan awan. Indeks La Niña saat
ini menunjukkan nilai -0.31. Meskipun indeks ini masih dalam rentang 0.8 dari
-0.8, akan tetapi indeks tersebut masuk dalam kategori La Niña lemah. Dari peta
angin lapisan 3000 ft, juga terlihat adanya area pusat tekanan rendah di
samuera Hindia Sebelah barat pulau Jawa dan juga ada typhon “MEGI” di sebelah
utara Filipina. Dampaknya yaitu berupa pola belokan angin
ataupun pola pertemuan angin di atas Indonesia yang mengakibatkan peningkatan
potensi terjadinya awan-awan hujan.
Berbagai faktor tersebut mengakibatkan peningkatan curah hujan di
banyak wilayah Indonesia. Kondisi ini diperkirakan masih akan berlangsung lama.
Dipole Mode Index diperkirakan baru menuju normal pada sekitar bulan November
atau Desember. Sedangkan untuk La Niña, meski banyak lembaga dunia
memperkirakan La Niña akan tetap dalam kategori lemah pada bulan-bulan
mendatang, akan tetapi ada juga lembaga dunia lainnya yang memperkirakan La
Niña akan menguat. Kondisi ini bisa bertambah parah jika didukung dengan adanya
variabilitas iklim yang dikenal sebagai Madde-Julian Oscillation (MJO). MJO
merupakan pergerakan massa udara di sekitar khatulistiwa yang berlangsung
pendek dengan siklus 30-60 hari sekali. Jika MJO berada di sebuah wilayah, maka
pembentukan awan hujan juga lebih mudah terjadi. meskipun saat ini MJO berada
pada fase normal, akan tetapi bisa jadi akan berada kembali berada di wilayah
Indonesia pada 2-3 bulan mendatang.
Karenanya, jika diibaratkan lomba lari, kesiagaan terhadap potensi
bencana ibarat lari maraton. Diperlukan nafas panjang karena potensi bencana
ini diperkirakan masih bisa terjadi dalam jangka waktu yang tidak sebentar. Nafas
panjang ini bisa berupa persiapan tenaga dan kepedulian hingga anggaran maupun
logistik. Jangan sampai terjadi “kehabisan nafas” kesiagaan saat bencana
terjadi sebagai akibat cara kita menghadapinya layaknya istilah hangat-hangat
tahi ayam.
dimuat di harian Radar Banten, 28 Okt 2016
Komentar
Posting Komentar