Harapan Swasembada Pangan Di Tengah Perubahan Iklim Dunia


Sebagai makanan pokok mayoritas warga negara, komoditas beras memainkan peran penting di Republik ini. Ketersediaannya menjadi pertaruhan berhasil atau tidaknya para pemangku kekuasaan dalam memimpin bangsa. Jika sampai beras tidak cukup tersedia untuk memenuhi kebutuhan penduduk, maka gejolak besar sangat mungkin terjadi dan mengancam stabilitas nasional. Karenanya, pengadaan beras baik dari produksi dalam negeri maupun impor selalu menjadi perdebatan yang panjang. Akan tetapi, semua sepakat bahwa idealnya pemenuhan kebutuhan pangan terutama beras seharusnya berasal dari dalam negeri atau dengan kata lain swasembada.
Pemerintah melalui Kementrian Pertanian membuat target swasembada pangan khususnya beras akan tercapai pada 2017 atau paling lambat 2018. Berdasarkan data Kementrian Petanian, kebutuhan beras nasional tahun 2015 sebanyak 33,35 juta ton. Sedangkan produksi padi pada tahun Tahun 2015, berdasarkan Angka Tetap Produksi Padi Badan Pusat Statistik (BPS) , diperkirakan sebesar 75,40 juta ton gabah kering giling (GKG) atau jika dikonversi menjadi setara sekitar 47,31 juta ton beras. Angka ini naik 6,42 persen dibandingkan tahun 2014. Kenaikan terjadi di Pulau Jawa sebanyak 2,31 juta ton dan di luar Pulau Jawa 2,24 juta ton. Penyebabnya adalah kenaikan produksi karena ada kenaikan luas panen 0,32 juta hektar (2,31 persen) dan produktivitas sebesar 2,06 kuintal/hektar (4,01 persen). Meskipun terlihat surplus, akan tetapi impor beras selama selama tahun 2015 tetap dilakukan. Beras kualitas medium diimpor oleh Bulog untuk memperkuat stoknya sebanyak 1,5 juta ton atau naik dari tahun 2014 yang sebaesar 300.000 ton.
Kenaikan produksi padi ini tentu membahagiakan. Pasalnya, pada tahun 2015/2016 terjadi fenomena kekeringan hebat di Indonesia akibat El Niño. Pada saat terjadi El Niño sangat kuat tahun 1997/1998, produksi beras domestik tahun 1997 turun 3,4% dan tahun 1998 turun lebih parah hingga sebesar 4,6%. Penurunan ini akhirnya memaksa pemerintah mengimpor sebanyak 5,8 juta ton beras guna memenuhi kebutuhan dalam negeri. Kelangkaan beras yang bersamaan dengan krisis ekonomi pada waktu itu  juga berakibat pada kenaikan harga komoditas ini dan sempat menimbulkan gejolak.
Berkaca pada pengalaman tersebut, nampaknya Kementrian  Pertanian mempersiapkan diri untuk menghadapi El Niño pada tahun 2015 lalu. Dikutip dari laman Setjen Kementrian Pertanian, selain upaya khusus Kementan guna mencapai swasembada tahun 2017, upaya lain sebagai langkah mitigasi El Niño yaitu melakukan antisipasi dini dengan menyalurkan bantuan pompa air 21.953 unit di daerah-daerah dekat sumber air, bekerjasama dalam pembangunan waduk, pembangunan sumur air dangkal 1.000 unit di Timor Tengah Selatan dan 1.000 unit di Grobogan, pengaturan air waduk malalui pengelolaan gilir giring air, melakukan hujan buatan dan lainnya. Langkah antisipasi dini lain adalah menggenjot penanaman padi di lahan rawa lebak dan pasang surut pada wilayah utara garis khatulistiwa (Sumatera dan Kalimantan) yang masih tersedia air. Upaya ini nampaknya tidak sia – sia. Meskipun tahun 2015/2016 terjadi El Niño juga dengan kategori yang sama dengan tahun 1997/1998 akan tetapi produksi padi secara nasional, berdasarkan angka tetap produksi padi Badan Pusat Statistik (BPS), ternyata meningkat. Data produksi beras secara nasional hingga saat ini memang dianggap masih bermasalah oleh beberapa kalangan. Akibatnya,terjadi polemik berkepanjangan tentang perlu tidaknya impor beras saat terjadi El Niño 2015. Penmerintah mengkhawatirkan terjadinya gejolak harga pangan seperti yang terjadi pada El Niño 1997/1998. Akan tetapi, gejolak yang dimaksud nampaknya tidak terjadi. Sehingga, produksi beras nasional yang ada nampaknya memang benar mengalami peningkatan signifikan.
Berdasarkan data Climate Prediction Center (CPC) NOAA, sejak tahun 1950 sebenarnya telah terjadi 24 kejadian El Niño dengan 3 kejadian diantaranya merupakan El Niño sangat kuat yaitu pada tahun 1982/1983, 1997/1998 dan 2015/2016. Intensitas El Niño dan juga La Niña diukur dengan menggunakan data Oceanic Nino Index (ONI). ONI dihitung dengan menggunakan anomali suhu muka laut di wilayah pasifik tropis bagian tengah ( Niño 3.4 ). Jika bernilai positif, hal ini mengindikasikan kondisi suhu muka laut di pasifik Equator bagian tengah lebih hangat. Intensitas El Niño dibagi menjadi 4 kategori yaitu  : lemah (dengan nilai ONI 0,5-0,9), Sedang (1,0-1,4), kuat (1,5-1,9) dan Sangat Kuat (≥ 2,0). El Niño 1997/1998, selain terlihat dari indeks ONI juga terlihat dari indeks osilasi selatan (SOI) yang bernilai hinggga -33,3 pada bulan februari 1998. Indeks ini dihuitung menggunakan perbedaan tekanan udara permukaan yang telah dinormalisasi antara Tahiti dan Darwin. SOI yang bernilai positif mengindikasikan pergerakan massa udara dari pasifik tengah menuju ke pasifik barat. Jika negatif maka terjadi sebaliknya. Jika nilainya mencapai -7 atau kurang maka terindikasi terjadinya El Niño. Akibatnya curah hujan di wilayah Indonesia menjadi turun drastis dan terjadi kekeringan dimana-mana. Para petanipun kesulitan mendapatkan air  untuk bercocok tanam yang pada akhirnya produksi padi secara nasional mengalami penurunan drastis. Sedangkan pada saat El Niño tahun 2015/2016 juga terjadi El Niño yang mirip dengan tahun 1997/1998 dengan indeks ONI pernah mencapai +2.3 dan indeks osilasi selatan juga pernah mencapai mencapai -20.2.
 Pengalaman menghadapi El Niño yang berakibat kekeringan di Indonesia ini berguna kita dalam menghadapi sebuah fenomena di dunia yang disebut perubahan iklim. Fenomena yang diakibatkan oleh pemanasan global ini seolah menjadi hantu menakuktkan bagi penduduk bumi. Melelehnya es di kutub, tenggelamnya pulau-pulau akibat meningkatnya permukaan air laut, cuaca ekstrim yang lebih sering terjadi merupakan beberapa contoh dampak dari perubahan iklim tersebut. Kehidupan manusia akhirnya juga terganggu akibat perubahan iklim
Salah satu terpengaruh  perubahan iklim yaitu ketersediaan pangan. Banyaknya peristiwa kebencanaan, meningkatnya kekeringan, meningkatnya suhu berpotensi menurunkan produktifitas tanaman pangan. Akibatnya, swasembada yang dicita-citakan bisa jadi mimpi belaka tanpa langkah antisipasi yang tepat. Karenanya, keberhasilan mengantisipasi dampak El Niño di sektor produksi padi merupakan pembelajran besar bagi kita untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim di masa yang akan datang, sehingga kita selalu optimis dengan tercapainya kedaulatan atas apa yang kita makan.


dimuat di harian, Kabar banten, 1 Nov 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memutus Tradisi Di Awal Musim

Cuaca Ekstrem Yang Terabaikan