Mewaspadai Sambaran Petir
Petir menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kilatan listrik
di udara disertai bunyi gemuruh karena bertemunya awan yang bermuatan listrik
positif dan negatif. Menurut Pabla dan
Price dalam Septiadi (2011), berdasarkan tempatnya, pelepasan muatan listrik pada
petir dapat terjadi di dalam satu awan (Inter Cloud, IC), antara awan dengan
awan (Cloud-to-Cloud, CC) ataupun dari awan ke bumi (Cloud-to-Ground, CG). Fenomena
petir sering timbul bersamaan dengan terbentuknya awan yang menjulang tinggi
yang disebut sebagai awan Cumulonimbus (Cb). Awan ini terbentuk karena kondisi
atmosfer yang labil. Labilitas atmosfer inilah yang meningkatkan potensi terjadinya gesekan antar partikel di dalam
awan dan menimbulkan muatan listrik yang berbentuk petir yang keluar dari awan.
Bahaya sambaran petir sudah tidak diragukan lagi. Suara gemuruh yang dihasilkan akibat terjadinya pemanasan
dan pemuaian udara yang sangat tiba-tiba ketika dilewati oleh sambaran petir
seolah menunjukkan potensi bahaya ini. Menurut otoritas atmosfer dan kelautan
Amerika (NOAA/National Oceanic And Atmospheric Association), di Amerika Serikat
ada sekitar 25 juta kilatan petir setiap tahun. Dan tiap sambaran petir itu
berpotensi mengakibatkan korban jiwa. Meskipun korban jiwa akibat petir telah menurun selama 30 tahun terakhir ,
namun petir terus menjadi salah satu unsur cuaca yang menjadi “pembunuh” top di
Amerika Serikat . Selain membunuh, petir juga melukai lebih banyak orang serta
meninggalkan beberapa korban dengan masalah kesehatan seumur hidup .
.Sambaran petir tidak mengenal usia ataupun jenis kelamin. Pada
bulan April lalu, seorang anak tersambar
petir di Tangerang. Muslih (8), siswa kelas 2 sekolah dasar, tewas tersambar
petir saat tengah duduk di depan gubuk tempat tinggalnya di Kampung Parahu,
RT03/04, Desa Parahu, Kecamatan Balaraja, Kabupaten Tangerang pada Senin
(25/4/2016) siang. Korban tewas seketika setelah tak sempat masuk ke dalam gubuk
tempat tinggalnya saat hujan mengguyur kawasan tersebut. Sebelumnya, Warno (40)
seorang petani asal Tarikolot, Desa Bojong Manik, Kecamatan Sindangresmi,
Kabupaten Pandeglang, juga tewas tersambar petir, pada Minggu (17/4/2016).
Korban tersambar petir saat hendak menebar benih padi di sawahnya.
Kondisi saat April lalu memang masih berada pada musim peralihan
atau pancaroba. Musim pancaroba ini dikenali dengan kondisi cuaca yang cepat
berubah dan kadang-kadang ekstrim. Bisa jadi pada pagi dan siang hari cuaca
terasa panas dan matahari bersinar sangat terik. Akan tetapi tiba-tiba pada
sore hari hujan deras disertai petir dan angin kencang. Kondisi tersebut pada
umumnya diakibatkan oleh kondisi atmosfer yang sangat labil dengan massa udara
yang cukup basah. Atmosfer yang labil tersebut mengakibatkan peluang tumbuhnya awan Cumulonimbus (awan Cb) juga tinggi.
Berdasarkan pantauan Satelit Himawari, pada tanggal 25 april 2016
saat Muslih (8) tersambar petir sebenarnya pertumbuhan awan Cb hanya berupa
sel-sel tunggal, sehingga menimbulkan hujan yang sifatnya lokal dengan durasi
yang tidak terlalu lama. Selain di wilayah utara Banten, pertumbuhan awan Cb
saat itu juga terpantau di bagian selatan Banten terutama pada siang hingga
sore hari. Sedangkan pada 17 april 2016,
saat Warno (40) tersambar petir, pertumbuhan awan Cb terpantau mulai terjadi
pada sekitar pukul 12 WIB dan kemudian berkembang semakin membesar ke seluruh
wilayah Banten.
Untuk kondisi saat ini, meskipun wilayah Banten sebagian besar
sudah memasuki musim kemarau, akan tetapi kewaspadaan akan sambaran petir ini
nampaknya tidak boleh ditinggalkan. Berdasarkan perkiraan BMKG, musim kemarau
saat ini berpotensi masih terdapat banyak hujan atau disebut sebagai kemarau
basah. Kondisi kemarau basah ini menjadikan pertumbuhan awan – awan konvektif
yang menghasilkan petir juga tinggi.
Kondisi kemarau basah disebut-sebut merupakan efek dari adanya
fenomena anomali negatif suhu muka laut Pasifik tropis tengah dan timur atau yang
disebut sebagai fenomena La Niña. Dampak dari La Niña bagi Indonesia yaitu
semakin banyaknya suplai uap air dari Samudera Pasifik ke wilayah Indonesia
yang berdampak pada peningkatan peluang pembentukan awan. Hal ini tentunya akan
semakin memperbesar peluang terjadinya petir.
Sebenarnya gejala La Niña hingga saat ini masih belum terlihat. Meskipun
indeks NINO34 sudah menunjukkan nilai -0.21 akan tetapi indeks ini masih dalam
rentang netral. La Niña biasanya disebut terjadi jika nilai indeks NINO034
lebih kecil dari -0.8. Meskipun
demikian, ada gejala lain yang mendukung terjadinya pertumbuhan awan di wilayah
Indonesia terutama bagian barat. Fenomena ini mirip dengan La Niña akan tetapi
terjadi di wilayah Samudera Hindia Tropis, yang dikenal dengan sebutan Indian Dipole
Mode. Indian Dipole mode merupakan fenomena anomali suhu muka laut yang terjadi
di wilayah Samudera Hindia Tropis. Peristiwa Indian Dipole Mode ditandai dengan
adanya perbedaan anomali suhu muka laut antara Samudera Hindia tropis bagian
barat dengan Samudera Hindia tropis bagian timur. Kekuatan Indian Dipole Mode
ini digambarkan melalui sebuah indeks. Indeks Indian Dipole Mode bernilai
positif berakibat pada berkurangnya curah hujan di wilayah Indonesia khususnya
bagian barat. Sedangkan jika bernilai negatif berakibat pada peningkatan curah
hujan di wilayah Indonesia terutama bagian barat. Indeks Dipole Mode saat ini
terpantau sebesar -1.3 atau jauh lebih kecil dari batas bawahnya yaitu -0.4.
Artinya pergerakan massa udara basah dari samudera Hindia cukup banyak mengarah
ke wilayah Indonesia yang mengakibatkan peningkatan pertumbuhan awan di wilayah
Indonesia terutama bagian barat.
Karenanya, kewaspadaan akan terjadinya sambaran petir khususnya di
wilayah Banten masih harus tetap tinggi. Langkah – langkah antisipasi perlu
dilakukan guna menghindari dampak buruknya bagi manusia.
dimuat di harian Kabar Banten, 22 Juli 2016
Komentar
Posting Komentar