Belajar Dari Banjir Bandang Ciberang

Tiga orang dikabarkan tewas terseret arus Sungai Ciberang, kabupaten Lebak. Seperti diberitakan harian Kabar Banten edisi 05 januari 2016, ketiganya bersama tujuh orang lainnya sedang berada di tepi Sungai Ciberang pada minggu (3/1/2016) sore. Saat menikmati indahnya pemandangan di tepi sungai,air bah tiba-tiba meluap dan menyeret ketiga korban. Meski sudah berupaya lari, namun ketiganya tidak berhasil menyelamatkan diri. Sementara tujuh orang lainnya berhasil menyelamatkan diri. Ketiga jasad korban ditemukan oleh tim SAR Polda Banten pada Senin (4/1/2016) atau sehari setelah ketiganya dilaporkan tenggelam.
Selain kejadian di sungai Ciberang, banjir bandang pada musim hujan kali ini juga terjadi di wilayah lain di Banten. Pada Desember lalu banjir bandang terjadi di Desa Muara Dua, Kecamatan Cikulur, Kabupaten Lebak. Air bah dari Kali Cikalung menerjang rumah penduduk begitu cepat dengan ketinggian satu meter lebih dan merusak dua rumah warga.
Menurut Badan Nasional benanggulangan Bencana (BNPB), banjir bandang ialah banjir yang datang secara tiba-tiba dengan debit air yang besar yang disebabkan terbendungnya aliran sungai pada alur sungai. Karakteristiknya yang datang secara tiba – tiba menjadikan banjir bandang bisa  menimbulkan kerusakan yang parah dan masyarakat yang diilewati alirannya seringkali tidak sempat menyelamatkan diri. Massa air yang seringkali membawa meterial seperti lumpur, kayu bahkan batu menjadikan daya rusaknya bertambah besar.
Curah hujan yang tinggi ditengarai sebagai salah satu penyebab terjadinya banjir bandang. Dari pantauan Satelit Himawari, pada bulan desember 2015 pertumbuhan awan di wilayah Banten memang cenderung meningkat dibanding bulan sebelumnya. Pertumbuhan awan pada umumnya terjadi pada siang hingga sore hari dan biasanya dimulai dari wilayah selatan dan daerah sekitar gunung lalu kemudian menyebar ke wilayah lainnya.
Sedangkan pada pekan terakhir tahun 2015 dan memasuki awal tahun 2016 pertumbuhan awan agak berkurang sehingga cuaca relatif kering. Hal tersebut disinyalir karena adanya sistem pusat tekanan rendah di Selat Karimata yang menghambat masuknya massa udara basah dari samudera Pasifik ke Pulau jawa khususnya Banten. Selain itu faktor variabilitas iklim yang dikenal sebagai Madde-Julian Oscillation (MJO) juga disebut berpengaruh. MJO merupakan pergerakan massa udara di sekitar khatulistiwa yang berlangsung pendek dengan siklus 30-60 hari sekali. Hingga saat tulisan ini dibuat, Indonesia berada pada fase subsiden pada fenomena MJO. Dalam fase tersebut, udara bergerak turun dan mengurangi potensi pembentukan awan yang kemudian mengurangi peluang hujan.
Meskipun demikian, pertumbuhan awan di wilayah Banten tidak sepenuhnya nihil. Pertumbuhan awan yang kemudian menurunkan hujan terdeteksi terjadi beberapa kali dan diataranya hujan dengan intensitas lebat. Contohnya terjadi saat musibah banjir bandang di sungai Ciberang.
Pada hari 03 Januari 2016, berdasarkan pemantauan citra satelit, pembentukan awan di wilayah Banten pada pagi hari terlihat kurang. Akan tetapi pada saat siang hari mulai terjadi pertumbuhan awan yang cukup aktif terutama pada wilayah gunung Halimun yang merupakan hulu dari sungai Ciberang. Awan ini kemudian membesar dan diperkirakan menimbulkan hujan dengan intensitas lebat di wilayah dekat gunung Halimun. Pertumbuhan awan ini sebenarnya juga diikuti dengan pertumbuhan awan di Banten bagian tengah meskipun tidak sebesar pertumbuhan awan yang berasal dari sekitar gunung halimun. Awan yang terbentuk itu kemudian memasuki tahap punah pada sore harinya. Sehinggga kejadian lebat tersebut kemungkinan berlangsung dalam waktu yang tidak lama.
Hujan lebat tiba-tiba dalam waktu singkat ini menjadikan air yang turun tidak banyak terserap oleh permukaan tanah. Sehingga banyak air yang menjadi limpasan permukaan (runoff). Jika kemudian pada aliran sungai terdapat bendungan alami akibat longsor atau material lainnya, air tersebut akan terbendung dalam jumlah besar. Saat bendungan tersebut tidak mampu lagi menahan tekanan air, maka jebollah bendungan itu dan mengalirkan air dalam jumlah besar secara tiba-tiba. Hal inilah yang mungkin saja menyebabkan terjadinya banjir bandang di Cigeram tersebut.
Belajar dari kondisi tersebut nampaknya kita harus punya stamina yang lebih untuk menghadapi peluang terjadinya potensi bencana khususnya banjir bandang dalam beberapa waktu ke depan. Saat tulisan ini dibuat, wilayah Banten belum memasuki puncak musim hujan yang diperkirakan terjadi antara bulan Januari atau Februari. Sehingga beberapa waktu ke depan curah hujan diperkirakan akan lebih tinggi dibandingkan sekarang. Meskipun El Nino diperkirakan masih akan masuk dalam kategori kuat hingga maret 2016, tapi monsun baratan juga diperkirakan semakin aktif. Selain itu gangguan pada atmosfer juga masih berpeluang terjadi baik berupa derah belokan angin, daerah pertemuan angin,dll.
Kewaspadaan juga harus dilipatgandakan jika daya dukung alam juga semakin turun. Misalnya saja jika kondisi hutan sudah tidak sebaik dulu lagi. Hal ini tentunya memperbesar peluang terjadinya banjir bandang. Padahal, tanpa kerusakan hutanpun banjir bandang bisa saja terjadi seperti yang terjadi di Wasior Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat pada tahun 2010. Kejadian yang memakan ratusan korban jiwa baik meninggal ataupun hilang itu diperkirakan terjadi karena curah hujan yang tinggi dan lama serta kondisi tanah dan kemiringan lerengnya yang terjal.
Karenanya, berbagai upaya perlu dilakukan untuk meminimalisir resiko bencana alam khususnya banjir bandang. Upaya seperti pembersihan material yang berpotensi membendung aliran sungai, penguatan tanggul – tanggul, dsb belum terlambat untuk dilakukan. Setelah berbagai upaya tersebut kita berharap bencana alam khususnya banjir bandang tidak terjadi. Dan yang pasti tidak ada ruginya bagi kita untuk selalu mempersiapkan diri.
Dimuat di harian Kabar Banten, 07 Januari 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memutus Tradisi Di Awal Musim

Cuaca Ekstrem Yang Terabaikan