Banjir Garut, Duka dan Pelajaran Untuk Kita
Indonesia kembali berduka. Di tengah hiruk pikuk jawa barat menjadi
tuan rumah PON XIX 2016,bencana alam melanda salah satu kabupaten di provinsi
ini. Banjir bandang terjadi di Kabupaten Garut pada selasa (20/09/2016) malam dan
menimbulkan banyak korban jiwa. Hingga tulisan ini dibuat, tercatat 23 korban
meninggal dunia dan 22 lainnya belum diketemukan. Banjir setinggi 1,5 – 2 m ini
juga merusak ratusan rumah termasuk kantor pelayanan publik seperti Kantor
Polsek dan rumah sakit. Bahkan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Garut
juga tak luput dari terjangan banjir hingga melumpuhkan aktifitas Rumah Sakit
dan pasien RSUD juga telah diungsikan. Ratusan stok darah di PMI Garut juga
tidak bisa dipakai karena rusak akibat banjir. Hingga saat ini, berdasarkan
rilis Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), BNPB masih melakukan kaji
cepat dampak kerusakan bencana. Pemetaan dilakukan dengan menerbangkan drone
dan memanfaatkan citra satelit beresolusi tinggi bersama Lapan, BIG dan BPPT.
Evaluasi ini dilakukan untuk dapat mengambil langkah-langkah penanganan secara
cepat dan tepat.
Banjir ini diduga akibat hujan deras yang turun pada Selasa (20/09/2016)
malam. Hujan yang turun mengakibatkan meluapnya sungai Cimanuk. Hujan yang
deras tersebut memang sangat mungkin terjadi diakibatkan oleh berbagai faktor. Kondisi
lautan dan atmosfer terpantau memberikan
peluang terjadinya hujan dengan intensitas tinggi. Suhu muka laut di Laut Selatan
Jawa terpantau lebih hangat dari rata-ratanya.
Suhu muka laut di selatan jawa berada pada kisaran 3-4oC
lebih tinggi dari rata-ratanya. Hal ini mengakibatkan penguapan lebih besar
terjadi dan memberikan suplai uap air yang besar terutama di wilayah Jawa
bagian selatan. Selain itu, terdapat indikasi adanya penambahan massa udara basah
dari Samudera Hindia yang masuk ke wilayah Indonesia terutama bagian barat. Hal
ini terlihat dari indeks Indian Ocean Dipole atau lebih dikenal dengan Dipole
Mode Index (DMI) yang negatif. Dipole Mode Index (DMI) negatif mengidikasikan
pergerakan massa udara yang basah dari Samudera Hindia ke arah wilayah Indonesia
terutama bagian barat. Sedangkan indeks positif mengindikasikan kondisi
sebaliknya. Kondisi ini ditambah dengan adanya variabilitas iklim yang dikenal
sebagai Madde-Julian Oscillation (MJO) yang pada saat kejadian banjir berada di
atas wilayah Indonesia. MJO merupakan pergerakan massa udara di sekitar
khatulistiwa yang berlangsung pendek dengan siklus 30-60 hari sekali. Jika MJO
berada di sebuah wilayah, maka pembentukan awan hujan juga lebih mudah terjadi.
Citra satelit MTSAT memperlihatkan pembentukan awan-awan hujan jenis Cumulunimbus
di wilayah sekitar Garut mulai terjadi pada sekitar pukul 18.00 WIB. Awan
tersebut berkembang dan membesar dengan pergerakan ke arah selatan. Awan
Cumulunimbus di daratan masih terdeteksi hingga pukul 01.00 WIB . Setelahnya
masih terlihat adanya awan tersebut akan tetapi berada pada Laut Selatan Jawa.
Kondisi atmosfer dan lautan yang memungkinkan terjadinya cuaca
ekstrim hingga menimbulkan bencana tersebut sebenarnya sudah terpantau beberapa
hari sebelum kejadian. BMKG telah merilis warning atau peringatan dini pada
tanggal 19 september 2016 tentang potensi terjadinya potensi hujan lebat
disertai kilat/petir dan angin kencang di sekitar Pulau Jawa, Sumatera, Bali
dan Nusa Tenggara dalam periode tiga hari kedepan. Peringatan dini ini juga telah
disebarluaskan kepada para pemangku kepentingan terkait.
Selain disebabkan curah hujan yang tingi, bencana banjir bandang
ini ditengarai diakibatkan oleh telah rusaknya Daerah Aliran Sungai (DAS)
Cimanuk. Menurut Kepala Pusat Data
Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, sebagaimana dikutip www.okezone.com,
kondisi buruk aliran hulu sungai tersebut sudah terjadi berpuluh-puluh tahun.
Sehingga jika di kawasan tersebut diguyur hujan lebat maka akan ada banjir dan
longsor.
Kondisi memprihatinkan ini mengingatkan kita pada banjir bandang Anyer
hingga Labuan beberapa waktu lalu. Banjir bandang tersebut juga diduga akibat akibat
adanya Ilegal Logging (pembalakan liar) di kaki gunung Aseupan dan Pabeasan. Pembalakan
liar mengakibatkan air dari kedua gunung tersebut tidak diserap tanah dan langsung
trurun mengikuti aliran sungai. Air dalam jumlah besar tersebut juga membawa
material lain seperti batu-batuan dan kayu hingga mengakibatkan meluapnya air
Waduk Rawa Danau yang tidak mampu lagi menampung air.
Berbagai kejadian bencana ini menjadi pelajaran besar bagi kita
semua. Alam telah memberikan tanda yang jelas agar kita berhenti merusaknya. Telah
jelas kerusakan akibat keserakahan kita sebagai manusia dalam memperlakukan
alam karunia Yang Maha Kuasa. Ulah sekelompok kecil manusia yang
mengeksploitasi alam tanpa aturan harus ditanggung akibatnya oleh banyak anak
manusia yang lain. Jika ini terus
dibiarkan, bukan tidak mungkin bencana yang terjadi ke depan akan semakin banyak
dan semakin merusak.
dimuat di harian Kabar banten, 23 Sep 2016
Komentar
Posting Komentar